Jakarta, Kompas – Dalam sistem demokrasi yang semakin terbuka, calon pemimpin lahir secara alami berdasarkan usaha yang dibangun secara konsisten. Kelahiran pemimpin tidak dapat didorong melalui iklan dan janji politik.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung dalam penobatan dirinya dan 14 tokoh lainnya sebagai Pemimpin Muda Berpengaruh 2008 di Jakarta, Selasa (16/12). Kondisi masa depan yang semakin berat membutuhkan pemimpin yang mampu bersikap rasional dan menyejahterakan rakyat.
Selama 10 tahun terakhir, Indonesia sulit mencari pemimpin yang dipatuhi seluruh rakyatnya. Pemimpin yang ada justru tak mampu mengarahkan rakyat, terutama dalam menghadapi hal-hal genting seperti krisis keuangan global saat ini. Rakyat justru dibiarkan mencari arah dan berjalan sendiri-sendiri.
”Kita butuh pemimpin yang bisa memberi inspirasi seperti Soekarno dan tegas seperti Soeharto,” katanya.
Selain Pramono, pemimpin muda berpengaruh versi majalah Biografi Politik itu adalah Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia Denny JA, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, mantan Pemimpin Redaksi Metro TV Andy F Noya, motivator Emotional Spiritual Quotient Ary Ginanjar Agustian, dan calon Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Selain itu, terdapat Duta Besar RI untuk Perserikatan Bangsa- Bangsa Marty Natalegawa, sutradara Riri Riza, pengusaha muda Sandiaga S Uno, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ada pula Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring, Ketua Umum Partai Bulan Bintang MS Kaban, Koordinator Kontras Usman Hamid, dan fungsionaris PBB Yusron Ihza.
Menurut Denny, untuk melahirkan pemimpin baru tidak cukup hanya berdasarkan motivasi yang dimiliki serta kemampuan mewadahi aspirasi dan memiliki determinasi atau mampu menentukan sesuatu. Kehadiran pemimpin muda harus ditopang oleh insentif partai politik yang membuka kesempatan luas bagi munculnya tokoh baru serta dukungan pendanaan yang kuat.
Disintegrasi
Disintegrasi nasional merupakan masalah yang harus lebih dulu diperhatikan bangsa Indonesia. Namun, krisis sistem kepemimpinan dan krisis saling percaya antarelite politik membuat masalah ini menjadi lebih sulit diatasi.
Pandangan itu disampaikan Taufik Abdullah dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2009 yang diadakan Dewan Perwakilan Daerah, Selasa di Jakarta.
Krisis saling percaya antarelite politik terlihat dari banyaknya partai yang berdiri secara tiba-tiba dan sulit dibedakan satu dengan yang lain. ”Berapa banyak partai yang mengatakan dirinya ’Soekarnois’ dan berapa banyak yang ’Islam’ dan yang ’Pancasila’? Apa beda yang satu dengan yang lain, selain pribadi dan kemampuan keuangan?” paparnya.
Menurut Taufik, ada tiga permasalahan integrasi nasional yang harus dilihat elite politik, yaitu ketegangan sosial-kultural dalam masyarakat, masalah regionalisme, dan hubungan masyarakat dan negara. (MZW/SUT)
Source : kompas.com