Jakarta, Kompas – Masyarakat dituntut kritis untuk menyikapi wacana menaikkan ambang batas parlemen dari 2,5 persen menjadi 5 persen dalam Pemilu 2014. Ambang batas yang terlalu tinggi berpotensi menjadikan sistem demokrasi tertutup dan tidak mewakili kelompok-kelompok kecil. Sistem tertutup yang mengabaikan sifat inklusif itu sangat berbahaya.
”Kelemahan parliamentary threshold dinaikkan adalah suara yang akan terbuang percuma sangat besar. Pada Pemilu Legislatif 2009 ada sekitar 31,5 persen suara yang terbuang. Itu luar biasa dan jangan main-main dengan suara yang terbuang karena akan merusak proporsi keterwakilan,” ujar Hadar Navis Gumay, Direktur Eksekutif Cetro.
Hadar mengupas bahaya sistem tertutup itu dalam diskusi bertema ”Undang-Undang Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia” di lembaga Solusi Untuk Negeri (SUN) Institute, Kamis (25/11) malam. Pembicara lainnya adalah Abdul Hakam Naja, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Partai Amanat Nasional.
Hadar menjelaskan, parliamentary threshold adalah pagar supaya partai politik yang masuk parlemen tidak terlalu banyak. Namun, pagar yang terlalu tinggi akan menyebabkan sistem menjadi tertutup. ”Apa benar parpol-parpol yang lolos parliamentary threshold itu bisa terus dipercaya? Kalau tidak, demokrasi kita akan rusak,” katanya.
Hadar menegaskan, sistem yang dibangun harus tetap mempertahankan asas proporsional dengan kekuatan memiliki sifat inklusif. Dengan parliamentary threshold tinggi, sifat inklusif itu akan rusak.
”Saya sepakat parliamentary threshold 2,5 persen berlaku nasional,” ujar Hakam. Dikatakan, suara yang tidak terwakili sedang digodok untuk diwadahi melalui konsep konfederasi. Konsep yang belum final itu untuk menjembatani antara parliamentary threshold dan pengecilan jumlah kursi di parlemen.
Konfederasi untuk menggaet peserta pemilu yang tak lolos parliamentary threshold. Suara hangus yang banyak itu ingin ditarik masuk sistem. (ANG)
Source: kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.